Sabtu, 11 Januari 2014

Cara baru memandang pancasila 2

Sila keempat, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan adalah cerminnya shalat maghrib. Negara ini disebut sebut memiliki adat timur dimana terkenal dengan keramah tamahannya, maka sangatlah cocok dengan islam dimana masalah-masalah diselesaikan diutamakan dengan musyawrah. Dalam hal ini ada dua hal, yaitu Rakyat dan Musyawarah. Sampai sekarang shalat maghrib masih digolongkan sebagai shalat favorit, karena shalat ini masih berada di tingkat tertinggi diminati masyarakat. Disbanding waktu-waktu lainnya, orang lebih banyak muncul ketika waktu ini. Kenapa shalat ini bisa kita refleksikan sebagai sila keempat, magrib adalah waktu yang singkat, waktunya juga berada digaris antara sore menjelang malam. Jika kita melihat waktu-waktu sebelumnya, ketika permulaan hari, kemudian tengah hari dan sore hari. 

Di sore hari ketika setiap orang berjalan kembali kerumah-rumah mereka. Kita dapat mengartikan bahwa masalah kita sudah kita selesaikan. Maka waktu magrib adalah waktunya untuk evaluasi. Waktu singkat sebelum menjelang malam. Karena malam adalah waktunya kita untuk istirahat, waktunya dimana banyak orang sangat tidak senang untuk diganggu, waktunya orang untuk melepas beban-beban disiang hari. Musyawarah memang bisa dilakukan kapan saja, tidak terbatas pada waktu magrib. Tapi refleksi musyawarah itu sendiri kita lihat diwaktu magrib. Karena musyawarah itu sangat terkait dengan waktu. Tidak ada orang yang senang duduk untuk membuat rapat dengan agenda yang singkat tapi membutuhkan waktu yang sangat lama. Apalagi jika agenda yang harus diselesaikan ada begitu banyaknya. Maka musyawarah yang memakan waktu panjang menjadi sangat menjemukan, orang akan lari dan lebih baik menunggu perintah saja. Nilai kepemimpinan seperti ini yang akan muncul pada orang-orang kita sehingga sikap apatis, malas dan mental tempe akan menjamur. 

Seperti itulah waktu magrib, waktu magrib diciptakan dengan sangat singkat dan dijadikan contoh bagaimana kita harus memanfaatkan waktu. Kita tidak diminta untuk berlama-lama memutuskan sesuatu. Kita diminta untuk menyelesaikan masalah, mencari penyelesaian dengan waktu yang cepat dan tepat. Sekali lagi, refleksi waktu magrib yang sangat singkat itu akan mencermikan bagaimana rakyat kita dalam mengambil kebijakan bersama, karena inti musyawarah adalah kebersamaan. Tapi tak lepas dari pengaruh seorang imam. Allah selalu menyuruh berjamaah. Maka ini adalah parameter kita untuk mengetahui diri kita sendiri. Ketika kita mendengar adzan kita akan shalat sendiri atau berjamaah. Shalat sendiri bisa kita artikan bahwa kita membatasi diri dengan orang lain, kita tidak membaurkan diri dalam suatu gotong royong untuk menyelesaikan masalah. Pada pola seperti ini, maka perbedaan yang timbul tidak akan menjadi rahmat karena kita menyelesaikan masalah berdasarkan keinginan kita sendiri dan tidak mendengarkan orang lain. Sikap seperti itulah yang akan timbul pada diri kita, bukan tidak mungkin walau kita berkeras bahwa kita adalah seorang yang mendengarkan orang lain. Melalui mulut kita bisa berkata apapun, tapi pola pemikiran akan mengikuti pola perbuatan kita. Ketika kita mengatakan sesuatu yang benar, tapi kebenaran yang kita lakukan tidak tepat. Maka kita tidak akan menemukan suatu kecocokan. 

Para politisi membicarakan suatu rakyat berdasarkan materialis, bahkan jika membahas moral maka hal-hal yang disinggung adalah suatu produk moral itu sendiri seperti kejujuran atau kebaikan. Sedangkan pola atau dasar yang akan membentuk produk moral itu sendiri adalah suatu perbuatan yang bermodalkan kebaikan, yaitu iman dan amal. Allah menyuruh agar setiap orang itu shalat, bahkan jika dia tidak shalat maka harus dipaksa untuk shalat. Inilah tujuannya, tujuan shalat bukanlah untuk Allah tapi untuk diri pribadi masing-masing. Pribadi disini bukanlah privasi, tapi karena pribadi-pribadi ini akan membaur disebuah komunitas. Maka untuk membentuk suatu komunitas yan baik dibutuhkan pribadi yang baik, walaupun pribadi yang baik itu dibentuk dengan keras. Dengan pemaksaan terhadap pola kebaikan, maka diharapkan produk moral itu akan terbentuk dengan sendirinnya. Kesadaran akan pentingnya produk kebaikan itu akan megantarkan kita pada apa itu sebenarnya sila keempat. Kepemimpinan dan apa yang diwakili akan berjalan dengan baik jika produk moral telah didapat dan disadari oleh rakyat. 

Dewasa ini kita melihat bagaimana rakyat terus berharap Negara ini bagus dengan pemimpin yang baik. Sebuah harapan yang naïf jika kita melupakan bahwa Allah mengatakan Dia tidak akan merubah suatu kamu jika kaum tersebut tidak mau berubah. Rakyat dengan produk moral yang lemah akan terus meminta dan tidak mau memberi, berharap muncul satu pahlawan yang akan merubah total negeri ini dari kualitas rendah menjadi kualitas tinggi. Mustahil. Semua masalah tidak bisa diselesaikan sekaligus, semuanya membutuhkan tahapan dan langkah-langkah. Untuk itulah dibutuhkan tiap-tiap wakil untuk duduk dan bermusyawarah. Itulah teorinya. Tapi praktikanya tidak seperti itu, kenapa ? shalat magriblah yang menjadi parameter kita. Jika kualitas shalat magrib kita baik maka akan baiklah kita dalam menyelesaikan masala kita, tapi jika kualitas shalat magrib kita buruk. Maka masalah kita akan semakin berlarut-larut karena lebih banyaknya orang yang berbicara daripada orang yang mendengar.
Sila kelima. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Sila kelima adalah sila favorit ditelinga setiap anak bangsa. Suatu sila yang menyatakan sama ratanya setiap manusia, tidak ada yang derajatnya lebih tinggi dan tidak ada yang direndahkan. Dalam islam setiap manusia diciptakan sama derajatnya dimata Allah kecuali keimanan mereka. Manusia dilahirkan dalam kondisi yang sama, tampa apa-apa termasuk dosa. Tapi permainan takdir membuat ada anak manusia yang di tinggikan dan ada anak manusia yang direndahkan. Jika kita mau menerima, maka hidup ini sebenarnya adalah tantangan. 

Hidup ini ujian, dan masalahlah yang membuat kita ini hidup. Bayangkan jika hidup ini semuanya sama rata dan penuh dengan kedamaian, maka itu adalah surga. Islam mengajarkan bahwa untuk mendapat sesuatu kita haruslah berusaha. Dan tugas seorang pemimpin adalah memastikan bahwa setiap usaha-usaha itu terlaksana dalam kebaikan dan bahwa setiap orang mendapatkan haknya. Jika kita melihat konteks kehidupan bersosial ini maka shalat isya adalah sebuah perbandingan yang sangat cocok, kenapa ? karena sekali lagi kita harus mengingat bahwa konteks shalat tidak pernah lepas dari waktu. Dan waku shalat isya adalah penjelasan bagi sila kelima ini. Waktu isya, adalah waktu dimana masuknya malam. 

Bagi sebagian orang malam adalah waktunya istirahat, bagi sebagian orang menggunakan waktu itu untuk tetap bekerja atau malah berkumpul dengan sesama teman. Mengawali, itulah kata kunci bagi sila kelima ini. Bagaimana seseorang pemimpin bisa mengutamakan rakyatnya jika dia tidak menjadikan rakyat sama pentingnya dengan dirinya sendiri. Jika kita membicarakan konteks kesama rataan bagi masyarakat, kita tidak bisa menyerahkan sepenuhnya pada pemimpin, karena pada akhirnya rakyat adalah pelaksana utama bukan sekedar penikmat. Tapi malam adalah akhir dari hari, dimana batas dari pekerjaan kita telah sampai. Waktu dimana setiap orang berpikir, inilah waktu bagi diriku sendiri. Waktu dimana orang-orang merasa untuk menikmati hasil apa yang diusahakannya hari itu. Tapi pada intinya, maukah kita bersama-sama sampai akhir ? karena keadilan ini tidak akan sampai pada seluruh masyarakat jika masyarakat itu adalah masyarakat apatis, masyarakat yang hanya memikirkan dirinya sendiri.

 Seorang pemimpin akan mati jika masyarakatnya adalah masyarakat individualis, karena walaupun mereka berbicara tentang keadilan tapi yang mereka utamakan tetap diri mereka sendiri, bukanlah masyarakat sosial yang akan saling tolong menolong. Shalat tidak memberikan harta pada seseorang, shalat tidak menjanjikan jabatan pada seseorang. Tapi shalat menjanjikan kualitas dan nilai yang tinggi pada diri seseorang. Bayangkan jika shalat menjadi standar dalam masyarakat. Kita tidak bisa memaksa seseorang untuk shalat berjamaah, karena itu, itulah inti dari shalat sebenarnya sebagai pembanding sila-sila dalam pancasila ini. Jika seseorang dalam kondisinya yang bagaimanapun akan berusaha menyeimbangkan dunianya dan akhiratnya, maka kondisi-kondisi pancasila itu tentulah akan tercapai. Karena shalat adalah ujian terberat bagi kedisiplinan seseorang, bagi keikhlasan seseorang dan standar bagi imannya seseorang. Jika masyarakat itu telah ingat akan tuhan mereka, maka tentulah mereka akan ingat dengan sesama mereka. Jika masyarakat itu dekat dengan tuhan mereka, maka tentulah mereka akan saling memberikan kasih dengan sesama mereka. Jika masyarakat itu mematuhi perintah-perintah tuhan mereka, tentulah masyarakat itu akan menjadi beradab dan keadilan akan tumbuh dalam diri mereka. Sehingga hukum akan berjalan dengan adil dan masyarakatlah yang menjadi pengawasnya lansung secara maksimal. Inilah masyarakat islam yang ideal. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar