Sila keempat, kerakyatan yang dipimpin
oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan adalah cerminnya
shalat maghrib. Negara ini disebut sebut memiliki adat timur dimana terkenal
dengan keramah tamahannya, maka sangatlah cocok dengan islam dimana
masalah-masalah diselesaikan diutamakan dengan musyawrah. Dalam hal ini ada dua
hal, yaitu Rakyat dan Musyawarah. Sampai sekarang shalat maghrib masih
digolongkan sebagai shalat favorit, karena shalat ini masih berada di tingkat
tertinggi diminati masyarakat. Disbanding waktu-waktu lainnya, orang lebih
banyak muncul ketika waktu ini. Kenapa shalat ini bisa kita refleksikan sebagai
sila keempat, magrib adalah waktu yang singkat, waktunya juga berada digaris
antara sore menjelang malam. Jika kita melihat waktu-waktu sebelumnya, ketika
permulaan hari, kemudian tengah hari dan sore hari.
Di sore hari ketika setiap
orang berjalan kembali kerumah-rumah mereka. Kita dapat mengartikan bahwa masalah
kita sudah kita selesaikan. Maka waktu magrib adalah waktunya untuk evaluasi.
Waktu singkat sebelum menjelang malam. Karena malam adalah waktunya kita untuk
istirahat, waktunya dimana banyak orang sangat tidak senang untuk diganggu,
waktunya orang untuk melepas beban-beban disiang hari. Musyawarah memang bisa
dilakukan kapan saja, tidak terbatas pada waktu magrib. Tapi refleksi
musyawarah itu sendiri kita lihat diwaktu magrib. Karena musyawarah itu sangat
terkait dengan waktu. Tidak ada orang yang senang duduk untuk membuat rapat
dengan agenda yang singkat tapi membutuhkan waktu yang sangat lama. Apalagi
jika agenda yang harus diselesaikan ada begitu banyaknya. Maka musyawarah yang
memakan waktu panjang menjadi sangat menjemukan, orang akan lari dan lebih baik
menunggu perintah saja. Nilai kepemimpinan seperti ini yang akan muncul pada
orang-orang kita sehingga sikap apatis, malas dan mental tempe akan menjamur.
Seperti itulah waktu magrib, waktu magrib diciptakan dengan sangat singkat dan
dijadikan contoh bagaimana kita harus memanfaatkan waktu. Kita tidak diminta
untuk berlama-lama memutuskan sesuatu. Kita diminta untuk menyelesaikan
masalah, mencari penyelesaian dengan waktu yang cepat dan tepat. Sekali lagi,
refleksi waktu magrib yang sangat singkat itu akan mencermikan bagaimana rakyat
kita dalam mengambil kebijakan bersama, karena inti musyawarah adalah
kebersamaan. Tapi tak lepas dari pengaruh seorang imam. Allah selalu menyuruh
berjamaah. Maka ini adalah parameter kita untuk mengetahui diri kita sendiri.
Ketika kita mendengar adzan kita akan shalat sendiri atau berjamaah. Shalat
sendiri bisa kita artikan bahwa kita membatasi diri dengan orang lain, kita
tidak membaurkan diri dalam suatu gotong royong untuk menyelesaikan masalah.
Pada pola seperti ini, maka perbedaan yang timbul tidak akan menjadi rahmat
karena kita menyelesaikan masalah berdasarkan keinginan kita sendiri dan tidak
mendengarkan orang lain. Sikap seperti itulah yang akan timbul pada diri kita,
bukan tidak mungkin walau kita berkeras bahwa kita adalah seorang yang
mendengarkan orang lain. Melalui mulut kita bisa berkata apapun, tapi pola
pemikiran akan mengikuti pola perbuatan kita. Ketika kita mengatakan sesuatu
yang benar, tapi kebenaran yang kita lakukan tidak tepat. Maka kita tidak akan
menemukan suatu kecocokan.
Para politisi membicarakan suatu rakyat berdasarkan
materialis, bahkan jika membahas moral maka hal-hal yang disinggung adalah
suatu produk moral itu sendiri seperti kejujuran atau kebaikan. Sedangkan pola
atau dasar yang akan membentuk produk moral itu sendiri adalah suatu perbuatan
yang bermodalkan kebaikan, yaitu iman dan amal. Allah menyuruh agar setiap
orang itu shalat, bahkan jika dia tidak shalat maka harus dipaksa untuk shalat.
Inilah tujuannya, tujuan shalat bukanlah untuk Allah tapi untuk diri pribadi
masing-masing. Pribadi disini bukanlah privasi, tapi karena pribadi-pribadi ini
akan membaur disebuah komunitas. Maka untuk membentuk suatu komunitas yan baik
dibutuhkan pribadi yang baik, walaupun pribadi yang baik itu dibentuk dengan
keras. Dengan pemaksaan terhadap pola kebaikan, maka diharapkan produk moral
itu akan terbentuk dengan sendirinnya. Kesadaran akan pentingnya produk
kebaikan itu akan megantarkan kita pada apa itu sebenarnya sila keempat.
Kepemimpinan dan apa yang diwakili akan berjalan dengan baik jika produk moral
telah didapat dan disadari oleh rakyat.
Dewasa ini kita melihat bagaimana
rakyat terus berharap Negara ini bagus dengan pemimpin yang baik. Sebuah
harapan yang naïf jika kita melupakan bahwa Allah mengatakan Dia tidak akan
merubah suatu kamu jika kaum tersebut tidak mau berubah. Rakyat dengan produk
moral yang lemah akan terus meminta dan tidak mau memberi, berharap muncul satu
pahlawan yang akan merubah total negeri ini dari kualitas rendah menjadi
kualitas tinggi. Mustahil. Semua masalah tidak bisa diselesaikan sekaligus,
semuanya membutuhkan tahapan dan langkah-langkah. Untuk itulah dibutuhkan
tiap-tiap wakil untuk duduk dan bermusyawarah. Itulah teorinya. Tapi
praktikanya tidak seperti itu, kenapa ? shalat magriblah yang menjadi parameter
kita. Jika kualitas shalat magrib kita baik maka akan baiklah kita dalam
menyelesaikan masala kita, tapi jika kualitas shalat magrib kita buruk. Maka
masalah kita akan semakin berlarut-larut karena lebih banyaknya orang yang
berbicara daripada orang yang mendengar.
Sila kelima. Keadilan sosial bagi seluruh
rakyat Indonesia.
Sila kelima adalah sila favorit ditelinga
setiap anak bangsa. Suatu sila yang menyatakan sama ratanya setiap manusia,
tidak ada yang derajatnya lebih tinggi dan tidak ada yang direndahkan. Dalam
islam setiap manusia diciptakan sama derajatnya dimata Allah kecuali keimanan
mereka. Manusia dilahirkan dalam kondisi yang sama, tampa apa-apa termasuk
dosa. Tapi permainan takdir membuat ada anak manusia yang di tinggikan dan ada
anak manusia yang direndahkan. Jika kita mau menerima, maka hidup ini
sebenarnya adalah tantangan.
Hidup ini ujian, dan masalahlah yang membuat kita
ini hidup. Bayangkan jika hidup ini semuanya sama rata dan penuh dengan kedamaian,
maka itu adalah surga. Islam mengajarkan bahwa untuk mendapat sesuatu kita
haruslah berusaha. Dan tugas seorang pemimpin adalah memastikan bahwa setiap
usaha-usaha itu terlaksana dalam kebaikan dan bahwa setiap orang mendapatkan
haknya. Jika kita melihat konteks kehidupan bersosial ini maka shalat isya
adalah sebuah perbandingan yang sangat cocok, kenapa ? karena sekali lagi kita
harus mengingat bahwa konteks shalat tidak pernah lepas dari waktu. Dan waku
shalat isya adalah penjelasan bagi sila kelima ini. Waktu isya, adalah waktu
dimana masuknya malam.
Bagi sebagian orang malam adalah waktunya istirahat,
bagi sebagian orang menggunakan waktu itu untuk tetap bekerja atau malah
berkumpul dengan sesama teman. Mengawali, itulah kata kunci bagi sila kelima
ini. Bagaimana seseorang pemimpin bisa mengutamakan rakyatnya jika dia tidak
menjadikan rakyat sama pentingnya dengan dirinya sendiri. Jika kita
membicarakan konteks kesama rataan bagi masyarakat, kita tidak bisa menyerahkan
sepenuhnya pada pemimpin, karena pada akhirnya rakyat adalah pelaksana utama
bukan sekedar penikmat. Tapi malam adalah akhir dari hari, dimana batas dari
pekerjaan kita telah sampai. Waktu dimana setiap orang berpikir, inilah waktu
bagi diriku sendiri. Waktu dimana orang-orang merasa untuk menikmati hasil apa
yang diusahakannya hari itu. Tapi pada intinya, maukah kita bersama-sama sampai
akhir ? karena keadilan ini tidak akan sampai pada seluruh masyarakat jika
masyarakat itu adalah masyarakat apatis, masyarakat yang hanya memikirkan
dirinya sendiri.
Seorang pemimpin akan mati jika masyarakatnya adalah
masyarakat individualis, karena walaupun mereka berbicara tentang keadilan tapi
yang mereka utamakan tetap diri mereka sendiri, bukanlah masyarakat sosial yang
akan saling tolong menolong. Shalat tidak memberikan harta pada seseorang,
shalat tidak menjanjikan jabatan pada seseorang. Tapi shalat menjanjikan
kualitas dan nilai yang tinggi pada diri seseorang. Bayangkan jika shalat
menjadi standar dalam masyarakat. Kita tidak bisa memaksa seseorang untuk
shalat berjamaah, karena itu, itulah inti dari shalat sebenarnya sebagai
pembanding sila-sila dalam pancasila ini. Jika seseorang dalam kondisinya yang
bagaimanapun akan berusaha menyeimbangkan dunianya dan akhiratnya, maka
kondisi-kondisi pancasila itu tentulah akan tercapai. Karena shalat adalah
ujian terberat bagi kedisiplinan seseorang, bagi keikhlasan seseorang dan
standar bagi imannya seseorang. Jika masyarakat itu telah ingat akan tuhan
mereka, maka tentulah mereka akan ingat dengan sesama mereka. Jika masyarakat
itu dekat dengan tuhan mereka, maka tentulah mereka akan saling memberikan
kasih dengan sesama mereka. Jika masyarakat itu mematuhi perintah-perintah
tuhan mereka, tentulah masyarakat itu akan menjadi beradab dan keadilan akan
tumbuh dalam diri mereka. Sehingga hukum akan berjalan dengan adil dan
masyarakatlah yang menjadi pengawasnya lansung secara maksimal. Inilah
masyarakat islam yang ideal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar